Mengenai Film Animasi dan Menyambut Film Meraih Mimpi dari Infinite Frameworks

Film The Simpsons terakhir yang dibuat untuk konsumsi bioskop, yang kemudian saya sewa bajakannya, kemudian saya salin lagi pada dua keping CD kosong, adegan pertama menunjukkan kelinci animasi 3 dimensi yang menari-nari di sebuah dunia yang indah, saya sempat berpikir “aarrrhg, salah copy!”

Sampai kelinci 3 dimensi itu mati dengan tragis, kehidupan nyata pun dimulai, dalam 2 dimensi, versi The Simpsons.

Sungguh, bagi sebagian orang, The Simpsons adalah sampah yang rumit. Desain karakter yang aneh, anda tidak bisa menggambarkan desain karakter pada seri animasi ini dengan satu kata sederhana: lucu. Akhir-akhir ini, dengan munculnya Nickelodeon, kita menemukan makin banyak desain karakter yang aneh-aneh disertai dengan cerita yang “aneh-aneh” pula, dan jika Nick memang saluran TV untuk anak-anak, tema ceritanya tidak selalu demikian. Jika seorang dewasa menonton Spongebob misalnya, kecuali orang dewasa tersebut menemui masalah dengan proses perkembangannya, dia akan menangkap kesan bahwa ada pesan tersembunyi di hampir setiap naskah cerita animasi tersebut, yang mungkin terlalu kompleks untuk anak-anak.

Satu hal yang pasti, karakter-karakter aneh ini dimunculkan untuk melawan dominasi Disney dengan cerita-cerita klasiknya yang menggambarkan bahwa orang-orang tampan dan cantik selalu baik dan benar, dan akan selalu hidup bahagia selama-lamanya, sedangkan orang-orang jelek adalah orang-orang yang sangat jahat namun tidak punya kreatifitas sehingga harus mati dengan cara tragis dan bodoh. Serial Shrek tidak membantu, karena ternyata alter ego dari dua ogre yang ada pada film tersebut adalah karakter-karakter tipikal yang sama dengan yang dipergunakan Disney.

Desain-desain karakter yang aneh yang ada pada film-film tersebut sebagian dimaksudkan untuk memperkenalkan pada anak-anak, bahwa dunia nyata tidak seindah dunia Disney, walaupun cara yang dipergunakan terkadang terlalu jujur.

Tapi film animasi bukanlah hanya konsumsi anak-anak. Kita semua tahu, anak-anak tidak ada dalam pemikiran Matt Groening saat menciptakan The Simpsons untuk FOX. Sama dengan anak-anak, orang dewasa, yang juga masuk dalam himpunan persamaan manusia, membutuhkan porsi fantasinya sendiri untuk dapat hidup normal (atau berhadapan dengan kehidupan normal). Dan produk untuk pangsa pasar ini cukup tersedia, dari mulai yang normal sampai yang sekedar memuaskan fantasi seksual.

Intinya, “film animasi tidak terbatas sebagai konsumsi anak-anak.” Ya, ya… tentu… banyak orang sudah pernah mengutarakan hal ini, tapi walaupun ada ratusan ribu artikel dalam bahasa Indonesia, dan ratusan ribu mulut pengamat yang menyatakan hal yang sama, namun dunia pertelevisian Indonesia tetap menyumbat kupingnya. Beberapa animasi Jepang yang dikhusukan untuk penonton terbatas tetap diiklankan sebagai konsumsi anak-anak, dengan kata-kata “adik-adik…dst, dst”. Atau jika yang mengiklankan itu adalah seorang anak, maka dia akan berkata: “teman-teman… dst, dst”. Setelah film diputar, kita baru sadar, teman-teman dari si anak tadi seharusnya berumur 17 tahun ke atas, cepat sekali dia dewasa.

FILM ANIMASI YANG BAIK

Sebentar lagi (atau sudah?) sebuah film animasi Indonesia beredar di bioskop-bioskop: Meraih Mimpi produksi dari Infinite Frameworks. Sesi “the making” nya sudah diputar di salah satu TV swasta, dan bahasa-bahasa sanjungan yang menyelimuti iklan pun mulai beredar. Saya hanya melihat potongan-potongan dari film tersebut, tidak seperti sebagian pihak yang sudah berani melarang sebelum pernah menonton keseluruhannya, saya merasa belum punya hak untuk membuat ulasan.

Sebagai film animasi 3 dimensi, saya melihat beberapa kualitas menjanjikan dari film yang dibuat oleh para animator yang berada di Batam tersebut (dan sekarang kita bisa bilang pada orang tua kita, bahwa animator itu juga adalah sebuah profesi). Pertama yang saya lihat adalah pencahayaan, walaupun dengan teknologi dan perangkat lunak yang ada sekarang, tidak terlalu sulit untuk membuat pencahayaan seperti itu. Dan “montage”, kalau saya boleh sebut demikian, pada adegan karakter mirip Elvis, yang cukup menarik. Dan salah satu pengisi suaranya adalah Gita Gutawa… hebat, tapi apakah hal tersebut dapat membantu menjadikan film animasi ini sebagai salah satu film animasi yang berkualitas?

STUDIO GHIBLI

MV5BNTY1MDcyMzE3Ml5BMl5BanBnXkFtZTYwMTI1MDg5._V1._SX99_SY140_Film animasi yang berkualitas? Saya bukanlah pakar, tapi jika ada orang yang bertanya mengenai film animasi yang paling baik menurut saya, maka saya akan menjawab “Spirited Away” yang lahir sebagai hasil perkawinan dari Hayao Miyazaki dan Studio Ghibli. Jika ada orang yang meminta saya untuk menggambarkan film tersebut, maka saya akan menjawab: “mungkin adalah rangkaian gambar dan suara terbaik yang bisa di reproduksi oleh perangkat audio-visual anda, dan mungkin adalah salah satu cerita terindah yang pernah diceritakan pada anda.” Yang menyedihkan adalah saya menemukan “Spirited Away” karena iseng, coba-coba, itupun karena ada embel-embel Studio Ghibli yang sudah saya kenal sebelumnya, saya jadi berpikir berapa banyak penggemar film yang melewatkan pengalaman ini?

Tapi, jika saya pikir-pikir, hampir semua hasil produksi Studio Ghibli adalah “masterpiece” (Princess Mononoke, Grave of the Firefly, Wolf’s Moving Castle dan banyak yang lain, silahkan kunjungi situs IMDB jika kata-kata saya tidak cukup), dan Hollywood sudah mulai menyadari hal ini, walaupun terlambat. Film terakhir dari Studio Ghibli “Ponyo, on the cliff by the sea” (2008) dicolek oleh LIONSGATE dan MIRAMAX, versi colek ini, katanya, suaranya akan diisi oleh bintang-bintang seperti Cate Blanchett dan Matt Damon. Saran saya, tidak perduli Matt Damon atau Cate Blanchett, film-film dari Studio Ghibli harus ditonton pada kondisi aslinya. Pengisian suara dalam bahasa Inggris hanya akan merusak film tersebut secara keseluruhan. Ponyo on the cliff by the sea, walaupun lebih ringan dan mempunyai kekurangan disana-sini, tidak berpaling dari jejak kualitas Studio Ghibli, saya berani berkata demikian, karena saya sudah melihatnya secara keseluruhan.

Anda mempunyai pandangan negatif terhadap budaya pop yang bernama anime dan manga? Sayangnya Studio Ghibli berada di luar arus itu. Studio ini membawa ciri khas karakter komik Jepang? Ya, tentu saja, Studio Ghibli berada di Jepang dan berisi orang-orang Jepang, dan ciri khas itu memang milik Jepang dari awal (bukan Malaysia) dan semua ini dibawa pada bentuknya yang murni dan brilian. Bagi saya, kualitas yang dibawa Studio Ghibli (dalam animasi dan kualitas cerita) mampu membuat studio lain seperti Disney, dan DreamWorks tampak seperti restoran makanan cepat saji.

Dibutuhkan satu batalion tenaga ahli dan ribuan tenaga pemasaran untuk membuat serial Ice Age, dibutuhkan seorang pendongeng dan satu kemah berisi seniman (ya, seniman, artis, bukan selebritis) untuk membuat Ponyo dan kita belum bicara mengenai musik pengiringnya. Ice Age menyediakan musik-musik, tarian dan nyanyian yang mengasyikkan, sama dengan serial Transformer versi layar lebar, hanya butuh 2 minggu sampai semua itu terlupakan. Ponyo menyediakan musik yang datang dari waktu disaat para Ibu masih mau membacakan dongeng sebelum tidur, pengaruhnya akan terus menghantui anda. Jika Ponyo belum mencairkan hati anda, anda bisa melirik film Studio Ghibli yang lain, atau langsung lompat ke Spirited Away dan Grave of The Firefly.
MV5BMTY0NDY1NTYzMV5BMl5BanBnXkFtZTcwOTM5MzAwMQ@@._V1._SX98_SY140_MV5BMTI3NzM5MTk1N15BMl5BanBnXkFtZTcwOTQ0OTM0MQ@@._V1._SX100_SY117_MV5BMzgwNzY0MDkwOF5BMl5BanBnXkFtZTcwNzMxMDI1MQ@@._V1._SX100_SY140_
Secara pribadi dengan keterpaksaan yang menyenangkan, saya menempatkan mereka diantara Shrek (untuk ide-ide cerita diluar pakem), Finding Nemo (ada beberapa adegan yang masih selalu mampu merebut hati saya), The Incredibles (cerita dan efek kamera yang inovatif!), Happy Feet (saat dia terjun ke laut dan berenang sendirian adalah yang terbaik, tentu butuh komputer yang kuat untuk merender seluruh penguin emperor ditengah badai salju dan seharusnya berbasis Linux!) Ratatouille yang begitu elegan dan humanis, The Last Unicorn yang ajaib (dan menjadi animasi berupa film panjang pertama bagi saya) serta Akira yang menjadi referensi bagi film animasi dan video game sampai sekarang.
MV5BMjA5NzIwMjQ4MV5BMl5BanBnXkFtZTcwMDEwNzQyMQ@@._V1._SX99_SY140_
Sayang sampai saat ini saya belum melihat Wallace & Gromit in The Curse of the Were-Rabbit karya Nick Park dan Steve Box.

SENI DIGITAL

Kunjungi deviantart.com, walaupun banyak sampah disana, namun anda juga akan menemukan seniman-seniman digital baik yang sudah berbicara banyak di industri hiburan digital, seperti video game, buku, majalah, komik dan film, maupun yang masih berupa permata-permata yang belum ditemukan. Salah seorang seniman mampu membuat rangkaian animasi, terdiri dari gambar-gambar sketsa sederhana, namun dengan aliran pergerakan yang begitu cair, dan sudut pandang yang pintar, 100 persen esensi. Seniman lain mampu membuat sebuah dunia yang dapat dijadikan latar belakang bagi sebuah cerita-cerita besar yang dapat ditulis oleh seorang penulis. Seniman lainnya dapat membuat karakter-karakter yang memiliki segala kualitas seorang Hannibal Lecter maupun Charlie Chaplin.

Di pasar, masih banyak orang yang berargumen mengenai status seni dari sebuah manipulasi foto, namun di deviantart, manipulasi foto menjadi seni karena Rio de Janeiro bisa dirubah sehingga mempunyai esensi seperti Tibet. Orang-orang ini tidak mau kompromi. Di deviantart anda juga bisa memantau seorang seniman muda kelas 4 SD yang awalnya hanya bisa menggambar kuda tanpa bentuk, namun beberapa tahun kemudian mampu melukis satu kelompok pasukan berkuda lengkap dengan baju zirah, kilatan pedang, serta latar belakang pegunungan yang tampak begitu nyata dan detil.

Faktanya beberapa seniman terbaik di deviantart adalah orang-orang Indonesia, tapi di Indonesia pekerjaan bukan datang dari kemampuan namun dari koneksi.

Animasi pada seri film Spiderman (1, 2 dan 3) bukanlah yang terbaik, tampak kasar dan kaku. Jika anda mencari animasi terbaik karya seniman-seniman digital Amerika dan Eropa, carilah pada judul-judul video game yang mereka buat. Jika anda pernah melihat potongan animasi pada Warcraft 2 atau Diablo, anda akan tahu kalau Lord of The Ring tidak terlalu istimewa dalam segi kualitas animasi, “hanya” kejeniusan dalam tekhnik compositing. Jangan salah sangka, saya masih menganggap keseluruhan trilogi itu cukup hebat dalam bentuk film, semua karena Peter Jackson.

Banyak perangkat lunak digital yang ada saat ini, sudah menyediakan fasilitas dimana anda dapat membuat suatu adegan yang kompleks hanya dengan beberapa kali klik pada mouse, padahal sebelumnya anda harus melalui sebuah proses yang panjang. Misalnya plugin-plugin pada Photoshop dari Adobe, kemudahan mengekstrak bagian dari gambar dan merubah properti layer. Kemudian pada perangkat lunak 3 dimensi, jalur kamera, properti dari benda dan teksturnya, tulang dan pergerakan, pencahayaan dan dinamika, sudah dapat dilakukan dengan cara yang relatif mudah. Beberapa tahun lalu, untuk membuat adegan laut pada Maya dari Alias Wavefront, anda harus bersusah payah dari nol, satu atau dua tahun kemudian, dengan satu kali klik anda sudah memiliki permukaan air yang dapat anda ubah propertinya menjadi permukaan air manapun yang anda inginkan.

Jika ada film animasi baru yang keluar saat ini, mereka seharusnya bisa menghasilkan sesuatu yang jauh lebih baik daripada sekedar “eye candy”, atau cuma sekedar membuktikan “kami pun bisa membuat film animasi loh!” Mereka harus memberikan sesuatu yang lebih, yang baru.

YANG LEBIH, YANG BARU

Buku “The Amazing Adventure of Cavalier and Clay” bisa dijadikan sebagai literatur bagi anda yang malas membaca literatur (saya tidak bisa apa-apa jika anda malas membaca total). Buku ini lebih condong ke fiksi, namun memberikan gambaran yang sesungguhnya mengenai industri komik Amerika yang sempat mendominasi dunia, juga budaya yang berkembang terkait dengan budaya komik tersebut.

Tidak ada alasan untuk melihat media komik hanya dengan sebelah mata. Salah satu karya seni terbaik dunia perfilman berasal dari komik, lihat Batman.

Dan komik juga mengadaptasi tekhnis pada film, bukan film-film sembarangan, namun karya-karya monumental seperti Citizen Kane, hal ini memberikan perspektif baru pada dunia komik, tidak hanya kanan, kiri, depan, belakang, namun juga menyamping, atas, bawah, dari balik jendela, dari sebelah pot, sudut pandang orang pertama, bahkan sudut pandang seorang penjahat seperti Joker dan karakter-karakter yang dianggap tidak punya peran. Batman dan Robin meninggalkan kostum cerah dan kebiasaan memanjat gedung yang mereka lakukan seperti memanjat tebing, juga meninggalkan tulisan POW! WHAM! dan sebagainya.

Batman juga mengadopsi kualitas anti hero, masa lalunya yang gelap menampakkan diri pada karakternya, beberapa rekannya menyusul: Spawn (terlihat sadis, namun dijejali referensi dari penyair-penyair puisi kelas atas seperti Dante dan Blake), Daredevil (karakter yang menarik namun versi film layar lebar yang buruk) dan lainnya. Cerita dan motif menjadi kompleks, tidak sekedar kejar-kejaran dan pukul-pukulan, namun juga perenungan. Sehingga seorang tekhnisi bisa fokus pada masalah tekhnis.

Sudut pandang tidak masalah pada animasi 3 dimensi, seorang animator bisa menggeser begitu banyak kamera kapanpun, ke arah manapun dengan menggunakan mouse, semua tergantung pada batas imajinasi sang sutradara dan penata gambar. Namun pada animasi 2 dimensi, butuh perencanaan lebih. Semua tekhnik terlewati, maka tergantung pada cerita yang dapat memanfaatkan semua tekhnologi itu.

Salah satu (dua) contoh yang ingin saya angkat disini adalah kisah-kisah Ang the Windbender (kita lebih mengenalnya sebagai Avatar) dan Naruto (seluruh varian animasinya, tidak termasuk manga). Kedua film ini populer di kalangan anak-anak dan semua umur penikmat animasi.

Di Amerika Serikat, setelah saya memperhatikan forum-forum pada situs televisi Amerika, sama seperti situs-situs RCTI, SCTV dan sebangsanya disini, Avatar menjadi film pilihan orang tua bagi anak-anaknya (dan alternatif tontonan bagi mereka sendiri) karena pesan-pesan tradisional yang konsisten dengan perkembangan jaman, komposisi cerita yang baik, dan animasi yang indah dan ramah (dan Amerika adalah sumber laknat dunia?) sentimen ini menendang Spongebob ke pojok ruangan.

Naruto dilain pihak, adalah pilihan yang harus diawasi. Naruto, baik komik maupun animasi, berkembang sesuai dengan perkembangan permirsanya. Naruto pada seri-seri awal cukup aman untuk dinikmati oleh anak-anak SD, namun tidak pada seri-seri akhir, para anak-anak SD tadi diharapkan sudah berada atau melewati masa remaja untuk pantas menikmati Naruto pada bentuknya yang ada sekarang.

Satu kesamaan dari keduanya adalah eksplorasi animasi. Banyak adegan-adegan yang menunjukkan kemungkinan-kemungkinan baru yang tidak pernah tampak pada animasi-animasi lain pada khususnya, dan film-film pada umumnya. Dan akhirnya hal ini menjadi standar dan ditiru oleh banyak pihak. Seperti perpindahan “kamera” dari karakter ke karakter saat mereka sedang berlari, pencahayaan, “efek kamera” seakan-akan suatu adegan dilihat sebagai pantulan dari sebuah permukaan tertentu, interaksi antar karakter dan bagaimana hal itu mempengaruhi latar belakangnya.

Penguasaan seni, keterampilan, dan kombinasi cerita beserta tekhnologi yang saling mengisi. Padahal Avatar dan Naruto masih dianggap “makanan ringan” dalam konteks produk film animasi, jika dibandingkan dengan animasi berseri sekelas Master Keaton dan Monster yang dianggap superior dan sulit dicari padanannya dari segi cerita (keduanya juga secara resmi mematok usia pemirsanya yang terdiri dari “pria” berumur 20 sampai 30 tahun ke atas, bukan karena isi yang tidak senonoh, jauh dari itu, namun karena ide, pemikiran, dan filosofi yang ada didalamnya yang dianggap hanya bisa dicerna oleh para pria pada umur-umur tersebut. Kalau dari segi kesusilaan, menurut saya Master Keaton bahkan tidak lebih berbahaya daripada Avatar).

SEKARANG

Kembali ke film animasi baru Indonesia, apakah menawarkan kualitas seperti yang dikatakan oleh punggawa-punggawanya? Atau hanya pembuktian bahwa Indonesia juga bisa membuat film animasi? Sayangnya saya hampir tidak melihat para seniman maupun tekhnisi berbicara di depan kamera, yang berbicara hanyalah para “artis” yang bahkan kemampuan aktingnya sendiri meragukan, dan semuanya memuji film ini… tentu saja.

Jika hanya berupa pembuktian, maka kita sudah sangat terlambat, Korea Selatan (Our Wonderful Days yang brilian) dan Cina sudah bisa menghadirkan karya-karya animasi yang monumental. Jauh sebelumnya, seniman-seniman mereka sudah terkait dengan proyek-proyek animasi artistik yang ambisius, seperti Ghost In The Shell 2: Innocence yang penuh dengan pesan-pesan filosofis dan terobosan-terobosan dalam media 2 dimensi maupun 3 dimensi yang oleh sebagian pengamat, setiap framenya dianggap sebagai karya seni yang dapat berdiri sendiri. Bahkan Ipin dan Upin karya anak-anak Malaysia pun, secara cerita, terlebih secara tekhnis, bagi saya sudah dapat diterima sebagai film animasi 3 dimensi yang cukup brilian.
MV5BMTYyMjUyNTU1M15BMl5BanBnXkFtZTcwNTI5OTYyMQ@@._V1._SX95_SY140_
Saran saya, tontonlah Ghost In The Shell 2, pada versi DVD yang saya peroleh memang tidak terdapat pilihan bahasa Inggris dan subtitlenya sangat buruk, namun film ini dapat memberikan ide, kira-kira sampai sebatas mana tekhnologi 2 dimensi dan 3 dimensi serta bakat yang ada sekarang dapat dipaksa bekerja sampai batas kemampuannya. Film ini memang sudah agak lama, namun saya belum menemukan film animasi baru yang berusaha sekeras film ini.

Berhentilah menyebut para selebritis sebagai artis, mereka bermain sinetron bukan untuk alasan seni. Untuk seniman (pelukis digital dan animator) penulis dan tekhnisi sendiri, kita mempunyai banyak jiwa-jiwa yang sangat mengagumkan, pertanyaanya apakah para pemilik modal berani menyingkirkan hegemoni Punjabi, memberikan kesempatan pada artis-artis yang sesungguhnya? Jangan sampai semua tenaga brilian kita lari ke luar negeri, banyak dari mereka yang lari ke Jepang, Amerika dan Eropa. Padahal masih banyak khasanah dongeng dan cerita dari Indonesia yang belum digali.

Ini mungkin bukan kebiasaan orang Indonesia, karena rendahnya penghargaan terhadap seniman dan proses, tapi cobalah biasakan untuk memperhatikan ending credit dari game-game dan film-film tertentu (terutama game-game terkenal) maka anda akan menemukan nama-nama Indonesia di sana. Silahkan cari, dan buktikan jika ada pemodal atau orang pemerintah yang mengatakan bahwa kita kekurangan tenaga (atau penguasaan tekhnologi)… kasihanilah mereka.

Untuk sementara ini, dari potongan-potongan film Meraih Mimpi yang saya saksikan di layar televisi, ada satu hal yang saya khawatirkan: bahwa para pembuat film menempatkan anak-anak sebagai target konsumen utama dalam proyeksi naskahnya. Saya percaya cerita yang baik adalah cerita yang dapat diterima, dan baik bagi semua orang (umur), terhindar dari tendensi karakter-karakter suci lawan jahat, dan menerima ide bahwa selalu ada dua sisi bahkan lebih dari sebuah cerita. Inilah yang membuat Studio Ghibli begitu dipuja, membuat Avatar begitu berhasil, dan penonton tidak merasa bodoh dan dibodohi.