Metode Narasi Sudut Pandang Orang Pertama

Mungkin anda berpikir bahwa saya menulis ini karena saya merasa sudah ahli dalam menulis fiksi dan dengan demikian merasa mempunyai hak untuk mengajari orang lain cara menulis walaupun anda gagal menemukan satu bukti bahwa saya sudah pernah menulis dan dipublikasikan dan dicetak… anda benar, tapi kita tahulah bagaimana manusia dengan hal yang bernama “perasaan”.

Ada cukup banyak metode narasi yang dapat kita terapkan dalam penulisan kreatif, dalam hal ini fiksi. Tidak hanya sudut pandang orang pertama dan sudut pandang orang ketiga yang penerapannya secara umum sudah kita kenal, dimana kedua metode narasi itu sendiri dapat dipilah-pilah lagi pada penerapan yang cukup jarang kita temui, tapi juga metode narasi orang kedua, metode narasi multi, lebih dari satu orang.

Jika tidak mau dibilang sangat penting, memahami metode narasi akan sangat membantu kita merancang cerita, menyisipkan pemikiran dan pesan dengan cara yang tidak terlalu kentara, namun membawa dampak yang kuat (setidaknya kita bisa membuat propaganda kita kelihatan lebih “halus”).

Memahami metode narasi juga akan membantu kita, sebagai orang yang membuat sebuah cerita, beradaptasi terhadap perkembangan yang terjadi pada kisah yang kita buat, seberapa besar kita mengejawantahkan diri terhadap segala macam situasi dan pemikiran yang mempengaruhi karakter-karakter yang ada, baik langsung maupun tidak.

Tulisan ini membahas metode narasi sudut pandang orang pertama.

Secara pribadi, saya sangat menyenangi sudut pandang orang pertama, mungkin sama tingkat senangnya dengan kesenangan orang-orang terhadap Facebook dan jalan-jalan ke mall.

Sejauh ini ada dua macam metode sudut pandang orang pertama yang dikenal:

1. Sudut pandang orang pertama regular.
2. Sudut pandang orang pertama omniscient.

Darimana data ini saya dapat? Wikipedia.

Penjabaran:

1. Sudut pandang orang pertama regular.

Hukum utama dari metode narasi ini adalah si penulis berperan menjadi karakter dalam tulisannya. Baik berperan hanya sebagai salah satu karakter dari awal sampai akhir cerita maupun berpindaj-pindah peran dari satu karakter ke karakter lain… jadi mirip monolog.

Kasus:

Bagi saya metode regular narasi memberikan kepuasan antara lain dalam hal-hal berikut:

– Kejayaan asumsi, sama dengan interaksi manusia pada kehidupan nyata, kita menilai orang lain hanya berdasarkan asumsi, biarpun kita mempunyai data yang lengkap tentang orang tersebut kita hanya bisa menggunakan semua data tersebut untuk menyodorkan asumsi tentang apa yang dipikirkan dan dirasakannya, kita tidak pernah benar-benar tahu apa yang dipikirkan atau dirasakan seseorang pada suatu saat tertentu.

– Dengan demikian, bukan hanya nasib dari masing-masing karakter berada ditangan asumsinya sendiri, pengetahuan pembaca pun hanya terbatas pada asumsi yang dijabarkan oleh si karakter.

– Intensitas yang tinggi dalam hal penggambaran konflik fisik maupun psikologis. Dalam hal fisik terkadang tidak ada hal yang lebih mengerikan daripada rasa takut akan kematian, kesadaran yang disentak oleh rasa sakit yang teramat sangat, dan kesendirian dalam pengalaman tersebut. Dalam hal psikologis terkadang tidak ada hal yang lebih mengerikan daripada pemikiran yang terisolir, ketidakmampuan atau adanya batasan untuk mengetahui, ketakutan yang dialami oleh diri sendiri dan secara asumtif tidak dapat dibagi dengan orang lain.

Walaupun salah satu ciri dari metode narasi ini adalah terbatasnya informasi yang didapat pembaca – yang – dibatasi oleh apa yang diketahui dan diasumsikan oleh si karakter, namun hal ini dapat dinegasikan sejauh mungkin jika si penulis mengadopsi peran dari berbagai karakter dalam tulisannya. Dalam hal ini pembaca akan mendapatkan gambaran atas asumsi dari karakter-karakter yang berbeda.

Tapi hal ini menuntut salah satu kemampun yang harus diasah oleh penulis: empati. Dan untuk berempati secara baik dibutuhkan banyak informasi.

2. Sudut pandang orang pertama omniscient.

Arti dari omniscient adalah mengetahui segalanya, pendeknya: Tuhan. Metode narasi ini mengadopsi konsep tersebut. Si narator atau karakter, tidak hanya mengetahui apa yang dipikirkan, dirasakan, atau diasumsikan olehnya, namun juga mengetahui apa dirasakan dan dipikirkan oleh karakter lain. Karakter ini tidak lagi berasumsi, hal yang sulit dilakukan dalam kehidupan nyata…

Kasus:

Kasus yang paling mudah tentunya jika kita menciptakan karakter serupa Tuhan atau dewa yang bernarasi tentang hal-hal yang dipikirkan oleh subjek-subjeknya (atau objek-objeknya) dan betapa muaknya dia terhadap situasi tersebut.

Dalam fiksi ilmiah mungkin kita bisa mengadopsi peran suatu entitas asing (alien) atau peran suatu virus yang menyerang otak.

Jika tidak fokus, maka metode narasi ini bisa menjadi begitu mirip dengan salah satu metode narasi sudut pandang orang ketiga, begitupula dengan informasi yang bisa didapatkan oleh pembaca.

Menarik jika kita bermain-main dengan menerapkan sudut pandang orang pertama omniscient pada suatu karakter dewa misalnya, dan menerapkan sudut pandang orang pertama reguler pada salah satu karakter subjeknya.

Satu pemikiran: karakter pembunuh yang mempunyai kelainan mental (psikopat misalnya) bukanlah sudut pandang orang pertama omniscient, biarpun dalam kisahnya si karakter banyak bercerita seakan-akan dia berkuasa atas segala pikiran dan laku karakter lain… kecuali tentunya jika si pembunuh ternyata adalah dewa dunia bawah, Hades, yang lagi kurang kerjaan kemudian memutuskan naik ke muka bumi untuk bernostalgia saat dia masih menjadi pencabut nyawa yang diupah harian.

Selanjutnya: Metode Narasi Sudut Pandang Orang Ketiga.

12 pemikiran pada “Metode Narasi Sudut Pandang Orang Pertama

  1. terimakasih mau menginformasikan ilmu dan idenya mas, sepertinya saya harus lebih banyak-banyak belajar menulis dari mas. maklum saya baru belajar menulis khususnya di Blog.

    • sepertinya harus ada penjelasan kalau seri tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengajari^^

      Saya termasuk yang percaya bahwa menulis itu seharusnya menjadi jalan pribadi (tanahnya diuruk diratain dan diaspal sendiri) jadi nggak ada ceritanya “murid si anu” atau “metode ini” atau “cara itu”. Beberapa orang diluar akhirnya berkesimpulan sama.

      Beberapa tahun yang lalu saya pernah mengetikkan kata “menulis” di Google, yang keluar adalah semua artikel dan skema cepat kaya dengan jargon-jargon “kamu bisa!”, “latihan, latihan, latihan” sepertinya menulis selalu dikaitkan dengan “penjualan” dan “target” tapi sama sekali tidak ada yang membahas esensi menulis itu sendiri, forum-forum dan grup-grup menulis berbahasa indonesia malah isinya sensasi dan iklan… sekarang situasinya masih sama.

      kalau mau cari hal-hal substanstif mengenai menulis masak harus pakai bahasa planet padahal kita punya bahasa indonesia?

      jadi ini urunannya saya, kita tunggu urunan dari telur terbang… 🙂

  2. Saya kok jadi tertarik bikin cerita juga… Hehehehe… Tapi ngga tau mau cerita apa, yang jelas pengen mempraktekkan ajaran Bapak Guru yang saya hormati. *tabik-tabik* 🙂

    • bapak guru? nggak ada lisensi ngajar saya mbak, bisa dipelototin sama guru-guru asli gara-gara ngambil lapak mereka 🙂

      ayo bikin yo… buat senang-senang aja dulu, urusan yang nanti ya nanti…

  3. Pelan-pelan dong Bapak Guru… Saya ini masih belajar menuangkan pemikiran dan menatanya dalam tulisan… Bapak Guru pasti bisa lihat dari kualitas tulisan di blog saya.

    Tapi oke lah… Apa sih yang nggak buat Bapak Guru? Nanti saya coba main imajinasi sedikit.

    • nggak, kenapa harus orang baik? membosankan… pembunuh, penipu, karakter yang tidak punya pendirian, karakter yang kacau, karakter-karakter yang ada di kehidupan nyata, semuanya bisa dijadikan sudut pandang orang pertama… pertanyaannya, penulisnya mampu nggak mengeksekusinya?

Tinggalkan komentar